Selasa, 18 Oktober 2011

Masuknya Islam Ke Tapanuli Utara



Masuk dan Berkembangnya Islam di Tapanuli Utara
I.              Pendahuluan
Islam merupakan agama yang terbesar di Indonesia dan karena itulah mereka selalu banyak bertindak dan bahkan mau memberikan suatu keputusan di dalam Negara republik Indonesia. Perkembangan agama ini sangat pesat dan penyebaran yang dilakukan mereka untuk menyebarkan agama ini dengan cara perdagangan, perkawinan, dan juga pendekatan dengan petinggi-petinggi tiap daerah itu.
Penyebaran islam di Indonesia dengan menggunakan tiga teori yaitu teori Gujarat, Makkah dan juga Persia. Penyebaran islam ke Indonesia tersebut langsung diterima oleh masyarakat yang dimasuki oleh para pedagang yang dari Arab tersebut.
Masuknya islam ke daerah Tapanuli utara tersebut berawal dari perang Padri yang mana pada waktu itu Tuanku Rao merupakan orang yang sangat besar dalam penyebaran terhadap islam dan hal tersebut dilakukan karena rasa kebenciannya kepada Sisingamangaraja X dan akhirnya Raja Sisingamangaraja mati ditangan Jatengger Siregar . Ada juga yang mengatakan bahwa Penyebaran islam di Tapanuli Utara melalui daerah Aceh, Mandailing, Barus dan juga yang lainnya. Namun pergerakan islam di Tapanuli Utara tidak dapat berkembang pesat karena masyarakat yang tinggal di daerah Tapanuli Utara lebih tertarik dengan kekristenan yang di bawa oleh kolonial.
Untuk itu penulis sangat senang bisa menuliskan sejarah masuknya islam ke Tapanuli Utara dan dapat menambah pengetahuan dari Penulis. Namun di dalam tulisan ini penulis tidak banyak menemukan buku yang mendukung dan untuk  itulah penulis menyajikan tulisan dengan sumber dari internet dan juga dari pendapat dari orang yang tinggal di tapanuli.
II.            Isi
a.    Perjalanan Masuknya Islam ke Sumatera Utara
Tanah batak merupakan bagian penginjilan dari wilayah yang sekarang kita kenal dengan sumatera utara. Pada masa pemerintahan colonial Hidia-Belanda, yaitu pada tahun1898 (ada juga yang mencatat sejak tahun 1842), pemerintah H-B membentuk keresidenan Tapanuli (termasuk kawasan yang sebelumnya masuk ke propinsi sumatera west kust atau sumera bagian barat). Sebagian besar dari tanah batak yaitu Pakpak-Dairi, Samosir, Toba, Silindung, Pantai Barat (Sibolga dan sekitarnya), angkola,hingga mandailing masuk kedalam keresidenan ini. Sedangkan sebagian kecil, yaitu tanah karo dan simalungun masuk ke provinsi sumatera Oos Kust atau sumatera bagian timur. Yang menjadi perhatian dari  butir ini yaitu melihat pertemuan Kristen dan islam dikawasan tanah batak yang kemudian masuk keresidenan Tapanuli. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan bahwa sebelum masuknya Injil di tanah Batak, daerah ini sudah terlebih dahulu dimasuki Islam. Terutama beberapa bagian di utara (Karo), Timur (Simalungun), selatan (Mandailing dan Angkola) dan barat (Sibolga hingga Barus). Kehadiran islam ini diperkirakan sudah ada pada abad ke-16 hingga awal abad ke-19 menurut Lance Castles, namun pengaruh islam pada waktu itu sangat kecil.
Dalam hal ini perlu juga diperhatikan bagaimana cara masuknya islam ke Tanah Batak yaitu dengan interaksi dengan orang-orang sekitar, yaitu orang di daerah Karo dan Simalungun dan ini terjadi pada abad ke-13. Batak sudah masuk islam jauh sebelum tahun 1820, namun kepastian ini beluym jelas. Salah satu motif atau dasar orang batak masuk islam adalah ekonomi, karena pedagang atau orang yang berjualan pada waktu itu adalah orang muslim. Dengan adanya [ergaulan atau hubungan tersebutlah membuat mereka bergaul demi mendapatkan keuntungan.[1]
Periode sebelum tahun 1800 Bangkitnya rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Baab Ullah menentang Portugis disebabkan karena tindakan bangsa Portugis yang sudah melampaui batas. Terlebih lagi setelah kaki tangan bangsa Portugis menikam Sultan Hairun, ketika memasuki benteng untuk merayakan perjanjian perdamaian yang disepakatinya. Dengan tewasnya Sultan Hairun maka sejak tahun 1570 rakyat Ternate menghalangi aktivitas bangsa Portugis yang dijalankan dalam benteng. Tahun 1575 Sultan Baab Ullah menawarkan agar Portugis menyerah dan dijamin keselamatannya untuk meninggalkan Ternate. Di Ambon bangsa Portugis mendirikan benteng namun pada tahun 1605 Ambon direbut VOC. Portugis tergusur dan menetap di pulau Timor bagian timur sampai tahun 1976. Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Akibatnya, aktivitas perdagangan para pedagang Islam di Selat Malaka terhenti dan para pedagang Islam mencari jalan sendiri untuk menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang Islam di sebelah barat Indonesia. Serangan Kerajaan Demak ke Malaka dipimpin oleh Dipati Unus (putera Raden Patah) merupakan bukti kecemasan terhadap Portugis. Armada Demak bersama-sama dengan Armada Aceh, Palembang, dan Bintan berusaha merebut kota Malaka. Namun dua kali serangannya yaitu tahun 1512 dan 1513 mengalami kegagalan. Ketika Malaka dikuasai Portugis, di Sumatera bagian utara berdiri Kerajaan Aceh dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Aceh mengirim pasukan untuk menyerang Portugis di Malaka, namun serangan itu mengalami kegagalan.[2]
Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah perang paderi yg berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833. Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian megislamkan tanah batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan dibeberapa tempat dengan tindakan yg sangat kejam. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Ä’aivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.[3]
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di jawa timur dan banten rakyat setempat yg tidak mau masuk islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum paderi dari bonjol, tak sedikit yg melarikan diri sampai malaya. Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X. Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar menantang Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan. Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya. Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanko Rao)- memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.
Perdaganganlah yang menyebabkan agama-agama berkembang terutama di Indonesia yaitu para kelompok pedagang mengambil rempah-rempah dan membawa ke negaranya. Pada saat itu juga banyak yangmendirikan kerajaan-kerajaan kecil misalnya Ternate di Maluku, Perlak Di Sumatera utara. Para pedagang mulai yang datang dari arab pada abad ke-13 mulai berdatangan ke Indonesia dan mereka menyebarkan agama mereka dan cara penyebaran yang mereka gunakan yaitu dengan cara menikah dan menetap di daerah tersebut.[4]
b.    Kehidupan Tuanku Rao
Kehidupan dari Tuanku Rao di muat penulis di dalam tulisannya ini adalah untuk memberitahukan bahwa di dalam kehidupannya ada hubungan dengan masuknya islam ke Tapanuli Utara. Dengan demikian pengolahan tradisi lisan paling monumental tentang asal usul Tuanku Rao dalam historiografi tradisonal Batak adalah apa yang dilakukan Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP). Monumental karena karya ini banyak dirujuk penulis-penulis Batak untuk mengukuhkan pembenaran tradisi lisan yang ada. Menurut MOP Si Pongkinangolngolan lahir dari hubungan incest antara putra dari Singa Mangaraja VIII yang bernama Gindoporang Sinambela dan Putri dari Singa Mangaraja IX yang bernama Putri Gana Sinambela. Oleh karena orang Batak tidak membolehkan kawin semarga maka Singa Mangaraja IX mengusir mereka agar tidak di hukum oleh khalayak ramai. Mereka berdua keluar dari Bakkara dan menuju Singkil lalu masuk Islam, dengan nama Muhammad Zainal Amiruddin Sinambela dan istrinya tetap pada kepercayaannya, sehingga mereka tidak dapat menikah secara Islam. Putri Gana Sinambela melahirkan seorang putra dan diberi nama Muhammad Fakih Amirudin Sinambela dan Putri Gana Sinambela menyebutnya “Pongki Na Ngolngolan” = “Fakih yang menunggu-nunggu”. Ketika Pongkinangolngolan datang ke Bakkara/Toba, ia menjadi anak mas dari Singa Mangarja X.[5]
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam. Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya. Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.[6]
Pongkinangolngolan kemudian merantau ke Minangkabau, atas anjuran Tuanku Nan Rentjeh. Pongkinagolngolan di chitan sesuai dengan sarat-sarat chitan serta syahadat, pada tanggal 9 Rabiulawal 1219/H = 1804/M diislamkan dengan nama: “Umar Katab” dibalik menjadi “Umar Batak”. Pongkinangolngolan Sinambela alias Umar Katab menjadi General Officer Padry Army, dengan gelar Tuanku Rao. Oleh Padri Army Command Tuanku Rao diperintahkan tugas belajar ke Luar Negeri. Sementara itu satu versi lain tentang asal usul Tuanku Rao diungkapkan oleh Basyral dalam bukunya Greget Tuanku Rao (2007). Bagi Basyral Tuanku Rao bukan berasal dari Batak Utara tapi dari kawasan Batak Selatan. Menurutnya Tuanku Rao adalah orang Mandailing asli. Basyral mendasarkan argumennya dari sumber naskah Tuanku Imam Bonjol yang menyebut Tuanku Rao adalah Pakih Muhammad, ayahnya orang Huta Gadang (Hutanagodang di Mandailing Kecil) dan Ibunya orang Rao. [7]
Menarik untuk melihat keberadaan Pakih Muhammad sebagai Imam Besar Nagari Rao gelar Tuanku Rao. Ayah Tuanku Rao menurut sumber Basyral adalah orang Huta Gadang (Hutanagodang?) dan ibunya orang Rao sehingga Basyral membuat kesimpulan Tuanku Rao adalah orang Mandailing. Sayang sekali, dalam uraian asal-usul Tuanku Rao ini Basyral belum mengeksplorasi sumber-sumber Mandailing lainnya. Muhammad Said (1961) berdasar sumber yang dikutipnya meresepsi historiografi Batak tentang asal usul Tuanku Rao. Menurut Said Si Pokki Nangolngolan adalah “agresor” yang pernah datang ke tanah Batak untuk melaksanakan pengislaman. Tuanku Rao adalah Si Pokki Nangolngolan yang telah membunuh pamannya yaitu Ompu Tuan Na Bolon atau Singa Mangaraja X. Tetapi Said sangat menyayangkan sekali peristiwa penetrasi orang-orang Bonjol apalagi mengenai riwayat hidup Tuanku Rao tidak di dapat dalam sumber Padri atau sumber yang dipertahankan kenetralannya. Dalam hal ini Said memegang sumber yang lebih dianggap netral karena sumber yang diperoleh dari tangan pertama, dimana orang-orangnya masih berada dan turut serta dalam kejadian itu. Sumber tersebut ditulis oleh J.B. Neumann 1866 seorang Kontelir B.B yang menulis tentang “Studies ever Bataks en Batakschelanden” (hal 51) dan menyebut bahwa Tuanku Rao adalah berasal dari Padang Matinggi, tidak disebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba. Neumann sendiri mengambil sumber karangannya dari Residen T.J Willer yang berada di Tapanuli tahun 1835. Tapi dengan menyatakan bahwa Tuanku Rao adalah si Pongki, maka sebenarnya Said lebih setuju kalau Tuanku Rao memang berasal dari tanah Batak, bukan sebagaimana disebut sumber-sumber Belanda.
Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).
Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atasmkuda. Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar.[8]
Tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh
pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan. Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X. Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kota Pinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya. [9]
c.     Alasan Masuknya Islam di tanah Batak
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.[10]
Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya.
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak. Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.[11]
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali. Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.[12]
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
d.    Adanya perbedaan Tapanuli Selatan dengan Tapanuli Utara yang menyebabkan Islam sulit berkembang di Tapanuli Utara
Berdasarkan disertasi Dr Lance Castles yang berjudul ”Tapanuli: Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera,” menurut Prof Pelly bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan yang tajam antara masyarakat Taput dengan Tapsel. Dalam penelitiannya itu, sosiolog asal Belanda ini mengungkapkan, saat menduduki Tapanuli (1915–1942), Belanda menetapkan Taput sebagai daerah penyangga (penyekat) antara Aceh dan Minangkabau. Untuk menyekat kedua wilayah Islam ini, Belanda melancarkan strategi Kristenisasi dan penguasaan politik di Taput. Belanda berkeyakinan, hanya dengan dikristenkan, masyarakat Taput bisa menjadi ’benteng’ meluasnya pengaruh Islam dari Aceh dan Minang. Selain itu, Jika Aceh dan Minang bersatu, secara geostrategi, akan menyulitkan posisi Belanda (hlm 20–21).
Selanjutnya, Prof Pelly yang juga menjadi Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara ini, menjelaskan proses ”pencerai-beraian” rumpun budaya Tapanuli oleh Belanda yang ditulis Castles. Pertama, sebagai bekas daerah pendudukan Kaum Paderi dari Sumatera Barat, Tapsel mengenal Islam dalam situasi perang. Belanda berusaha keras menyebarkan Kristen di wilayah ini, tapi gagal. Sampai pendudukan Belanda berakhir, misionaris Kristen hanya merekrut 4.000 penganut. Sedangkan Islam dianut oleh 16.000 penduduk Tapsel.
Kepala-Kepala Kuria (Kepala Adat) yang diangkat Belanda, agar masuk Kristen dan mau membantu kegiatan misionaris, ternyata tetap keukeuh memegang Islam. Bahkan, hingga akhir abad ke 19, semua Kepala Kuria di Tapsel, berbalik melawan misionaris dan melindungi Islam (hlm 21). [13]
Berdasarkan perhitungan Castles, untuk memisahkan Aceh dan Minang, sebenarnya tak perlu mengkristenkan Taput. Cukup dengan mendukung agama asli orang Batak Toba. Tapi, Belanda berkeras, hanya dengan cara dikristenkan, masyakarakat Taput bisa dimanfaatkan untuk menghalangi masuknya Islam di kawasan ini. Pada tahun 1873 Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.[14]
Akibat Kristenisasi, Belanda harus berhadapan dengan Sisingamangaraja ke-XII. Setidaknya, terdapat dua kali pertempuran besar antara pasukan Sisingamangaraja dengan Belanda. Yakni pada tahun 1878 di pantai Selatan Danau Toba dan tahun 1883 di Tanggbatu (sekarang Balige, ibukota Kabupaten Toba Samosir).[15]
Setelah pertempuran, Belanda memperlambat gerak maju menguasai Samosir dan Dairi. Apalagi, Belanda harus menghadapi pertempuran di Aceh melawan pasukan Islam. Meski begitu, misionaris Kristen terus disusupkan Belanda memasuki wilayah-wilayah pedalaman, hingga hampir 100% penduduknya mengimani Kristen.
Prof Pelly menjelaskan, serangkaian proses penaklukan di atas menyebabkan satu rumpun budaya yang sama, kini tercerai-berai. Belanda menggunakan agama Kristen untuk memisahkan keduanya dari pengaruh Islam di Aceh dan Minang. ”Tapi, di luar dugaan ahli antropologi, Tapsel justru muncul menjadi perpanjangan kekuatan Islam Minangkabau di Tapanuli. Sedangkan Taput, tumbuh menjadi Kristen yang berfungsi menyekat pengaruh Islam dari Aceh dan Minang,” lanjutnya.
Proses politisasi Islam dan Kristen di Tapanuli, melahirkan identitas politik pada masing-masing kelompok. Menurut Erickson (1989: 182), identitas politik ini adalah suatu bentuk penyadaran yang tajam akan keberadaan diri sendiri dan kelompoknya. Selain itu, identitas ini merupakan satu kesatuan unik untuk memelihara masa lampaunya sendiri, baik bagi dirinya maupun orang lain.[16]
Karenanya, ujar Pally, jika masyarakat Taput ingin memelihara masa lalunya dengan mendirikan Provinsi Tapanuli, maka pembentukan provinsi ini bisa dilihat sebagai usaha untuk memelihara identitas politiknya yang khas. Yaitu, identitas politik yang terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan budaya dan politik dari saudaranya serumpun di selatan. Hal yang sama, juga berlaku bagi masyarakat Tapsel. Penolakan mereka bergabung dalam satu provinsi merupakan manifestasi kesadaran politik, budaya dan keberagamaan masyarakat Tapsel. Mereka merasa memiliki identitas politik yang khas sebagai manifestasi identitas politik Islam yang berbeda dengan saudaranya di Taput yang Kristen.
Perkembangan islam di Tapanuli sangatlah sulit karena di dalam kehidupan Tapanuli Utara telah mempercayai kekristenanlah yang menjadi agama mereka. Penyebaran islam di Tapanuli Utara itu kebanyakan dilator belakangi dari tindakan pemerintah khususnya pemerintah Suharto yang memasukkan orang-orang dari pulau jawa ke tanah batak dengan alasan transmigrasi. Namun perkembangan islam tersebut belum begitu pesat dan itu dapat kita lihat pada sekarang ini. Perkembangan islam di tapanuli Utara itu juga dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang dari pulau jawa atau luar sumatera dan menikah dengan orang batak (perempuan atau laki batak).
III.           Kesimpulan
Dari sajian ini penulis dapat menyimpulkan bahwa masuknya kekristenan di dalam Tapanuli Utara, itu dilatarbelakangi adanya perang padri yang menyerbu tanah batak yang dipimpin oleh Tuanku Rao karena Tuanku Rao adalah orang batak yang sudah lama tinggal di Minang Kabau. Atau dengan kata lain hal ini terjadi demi pemanfaatan yang dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nanrenceh yang menyuruh mereka untuk menyerang tanah Batak. Penghambatan di islamisasi di Tapanuli utara juga dipengaruhi oleh adanya colonial Belanda yang menyebarkanb agama Kristen di tapanuli Utara untuk menghambat penyebaran Islam. Dalam hal ini bisa kita rasakan begitu banyaknya gereja-gereja yang ada di Tapanuli Utara, namun yang menjadi perhatian kita saat ini adalah apabila kita tidak bersatu atau berpecah belah maka islam yang ada di Tapanuli Utara tersebut akan berusaha untuk mengambil kesempatan karena pemerintah menyebarkan Islam di Tapanuli Utara dengan pembangunan masjid-masjid ditiap-tiap daerah.








[1] Jan S. Aritonang, Sejarah poerjumpaan Kristen dan Islam, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004: hlm.102-104.
[2] Ibid, hlm. 104.
[3] http://www.topix.com/forum/world/malaysia/TJO9R0OIJ3A4P14T7. diambil tanggal 28 Februari 2011 jam 15.00 wib.

[4] Th. Van den End, Ragi cerita 1, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1987: hlm. 19-20.
[6] Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964
[7] Abdur-Razzaq Lubis, Salma Nasution Khoo, Raja Bilah and the Mandailings in Perak, 1875-1911, Areca Books, Malaysia 2003, hlm. 243.
[8] http://asia.groups.yahoo.com/group/debate-religious-spirituality/, Diceritakan oleh Batara Hutagalung, data ini diambil pada hari selasa tanggal 1 Maret 2011.

[9] Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak, LKiS, Jogjakarta 2007: hlm. 340.
[10] Ibid, hlm. 355.
[11] Ibid, hlm. 359.
[12] Ibid, hlm.  355-356.
[13] http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/05/00153762/protap, oleh Dwi Hardianto diambil tanggal 1 maret 2011.
[16] Ibid